AyatSH: Kejadian 3:1-24. Judul: Tergoda. Keberadaan manusia di Taman Eden tidak berlangsung abadi (24). Manusia tergoda oleh bujuk rayu ular, yang merupakan binatang melata yang paling cerdik (1). Percakapan ular dengan perempuan membuat Hawa dan Adam tergoda untuk makan buah pengetahuan yang baik dan yang jahat (6).Ia menghalau manusia itu dan di sebelah timur taman Eden ditempatkan-Nyalah beberapa kerub dengan pedang yang bernyala-nyala dan menyambar-nyambar, untuk menjaga jalan ke pohon kehidupan.
Informasimenarik dari Popular 10+ Perkembangan Dosa Menurut Alkitab Kejadian 3 Dan 4, Paling Baru! adalah. ringkasan kejadian 3:1-24, kejatuhan manusia kedalam dosa menurut alkitab, renungan khotbah kejadian 3 1 24, khotbah kejadian 3:6-13, renungan kejadian 3 ayat 1 sampai 24, kesimpulan dari kejadian 3 ayat 1 sampai 24, inti dari kejadian 3:
volume3 nomor 5 tahun 2016 indonesian digital journal of mathematics and education m o o r n 2 0 1 6. by khimuz kirana. download free pdf download pdf download free pdf view pdf. penggunaan media foto keluarga untuk meningkatkan hasil belajar siswa dalam pembelajaran menulis narasi pada mata pelajaran bahasa indonesia pada siswa kelas vii smp
There is an understanding that women and their bodies are the source of sin that must be shunned in our society. It is also evident in Christianity, where themes about women's bodies and their sexuality are also often associated with sin, transgression and punishment. This understanding is rooted in the story of Eve eating fruit in the Garden of Eden Gen. 31-24 which is seen as a story of the "fall" of humans because of women's sin. In other words, women are seen as the cause of humans falling into sin. Of course, this understanding has a negative impact on women dignity. Women then experience discrimination almost in all fields. Their body and sexuality are also controlled by men. In this regard, a re-reading of the text of Genesis 31-24 is needed to free women from such kind of understanding. The author interprets the text of Genesis 31-24 from a feminist perspective using literature research methods. The result of this interpretation is that women are not the source of sin but rather the source of wisdom. Through the results of this interpretation is expected to change the way of thinking of society to respect women and their bodies better. Dalam kehidupan masyarakat terdapat pemahaman bahwa perempuan dan tubuhnya adalah sumber dosa yang harus dijauhi. Hal ini tampak dalam kekristenan di mana tema tentang tubuh perempuan dan seksualitasnya juga sering dihubungkan dengan dosa, pelanggaran dan hukuman. Pemahaman ini berakar dari kisah Hawa makan buah di taman Eden Kej. 31-24 yang dipandang sebagai cerita “kejatuhan” manusia karena dosa perempuan. Dengan kata lain, perempuan dipandang sebagai penyebab manusia jatuh ke dalam dosa. Pemahaman ini menimbulkan dampak negatif terhadap perempuan secara keseluruhan. Perempuan mengalami diskriminasi hampir dalam segala bidang. Tubuh dan seksualitas mereka juga dikontrol oleh laki-laki. Sehubungan dengan hal itu, perlu dilakukan pembacaan ulang terhadap Kejadian 31-24 untuk membebaskan kaum perempuan. Penulis menafsirkan Kejadian 31-24 dari perspektif feminis dengan menggunakan metode penelitian literatur. Hasil dari penafsiran ini adalah bahwa perempuan bukan sumber dosa melainkan adalah sumber hikmat. Melalui hasil tafsiran ini diharapkan dapat mengubah cara berpikir masyarakat untuk lebih menghargai perempuan dan tubuhnya. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free 174 Volume 4, Nomor 2, Juli 2020 Evangelikal Jurnal Teologi Injili dan Pembinaan Warga Jemaat Volume 4, Nomor 2, Juli 2020 174-184 2548-7558 Online 2548-7868 Cetak PEREMPUAN SUMBER DOSA ATAU SUMBER HIKMAT? TAFSIR ULANG KEJADIAN 31-24 DARI PERSPEKTIF FEMINIS Asnath Niwa Natar Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana Email asnathnatar ABSTRACT There is an understanding that women and their bodies are the source of sin that must be shunned in our society. It is also evident in Christianity, where themes about women's bodies and their sexuality are also often associated with sin, transgression and punishment. This understanding is rooted in the story of Eve eating fruit in the Garden of Eden Gen. 31-24 which is seen as a story of the "fall" of humans because of women's sin. In other words, women are seen as the cause of humans falling into sin. Of course, this understanding has a negative impact on women dignity. Women then experience discrimination almost in all fields. Their body and sexuality are also controlled by men. In this regard, a re-reading of the text of Genesis 31-24 is needed to free women from such kind of understanding. The author interprets the text of Genesis 31-24 from a feminist perspective using literature research methods. The result of this interpretation is that women are not the source of sin but rather the source of wisdom. Through the results of this interpretation is expected to change the way of thinking of society to respect women and their bodies better. Key words Adam, Eve, Fall in sin, Patriarch ABSTRAK Dalam kehidupan masyarakat terdapat pemahaman bahwa perempuan dan tubuhnya adalah sumber dosa yang harus dijauhi. Hal ini tampak dalam kekristenan di mana tema tentang tubuh perempuan dan seksualitasnya juga sering dihubungkan dengan dosa, pelanggaran dan hukuman. Pemahaman ini berakar dari kisah Hawa makan buah di taman Eden Kej. 31-24 yang dipandang sebagai cerita “kejatuhan” manusia karena dosa perempuan. Dengan kata lain, perempuan dipandang sebagai penyebab manusia jatuh ke dalam dosa. Pemahaman ini menimbulkan dampak negatif terhadap perempuan secara keseluruhan. Perempuan mengalami diskriminasi hampir dalam segala bidang. Tubuh dan seksualitas mereka juga dikontrol oleh laki-laki. Sehubungan dengan hal itu, perlu dilakukan pembacaan ulang terhadap Kejadian 31-24 untuk membebaskan kaum perempuan. Penulis menafsirkan Kejadian 31-24 dari perspektif feminis dengan menggunakan metode penelitian literatur. Hasil dari penafsiran ini adalah bahwa perempuan bukan sumber dosa melainkan adalah sumber hikmat. Melalui hasil tafsiran ini diharapkan dapat mengubah cara berpikir masyarakat untuk lebih menghargai perempuan dan tubuhnya. Kata kunci Adam, Hawa, Kejatuhan dalam dosa, Patriarkhi PENDAHULUAN Selama berabad-abad penafsiran terhadap Alkitab telah dibentuk oleh kekuatan patriarkal. Se-kilas tentang sejarah dan hasil penafsiran terhadap Kejadian 3 pada awal Kekristenan dan abad modern, bisa dilihat pada buku dari Gabriele Spira 2015, pp. 16–38. Kisah penciptaan ditafsirkan secara patri-arkhal, bahkan misoginis kebencian terhadap pe-rempuan oleh para sarjana dan teolog Alkitab laki-laki. Penulis Kristen awal menggambarkan Hawa se-bagai yang lebih rendah dari Adam. Model penafsir-an dari periode awal Kekristenan tidak saja dalam rangka merumuskan ajaran dogmatis dan apologetis ketika berhadapan dengan ajaran-ajaran lain yang ber-tentangan tetapi juga pengaruh rabinisme Yahudi ter-hadap Perjanjian Lama. Setidaknya ada dua alasan untuk memahami Kejadian 31-24 secara patriarkalis yaitu Pertama, Hawa diciptakan setelah Adam atau terakhir Kej. 222 karena itu dia lebih rendah. Padahal Kejadian 127 dalam Alkitab Bahasa Ibrani hanya menyatakan bahwa Allah menciptakan manu-sia adam yang tentu dihubungkan dengan adama tanah sebagai materi dasar. Manusia yang dicipta- Asnath Niwa Natar, Perempuan Sumber Dosa atau Sumber Hikmat? …. 175 kan Allah terdiri dari zakar manusia yang memiliki sifat kelaki-lakian dan neqebah manusia yang ber-sifat keperempuanan. Kejadian 11-24a dikenal be-rasal dari P Priest sedangkan Kejadian 24b-25 dari non P. Meskipun sama-sama memaparkan narasi pen-ciptaan namun memiliki penekanan teologis yang berbeda. Istilah laki-laki dan perempuan eksplisit muncul pada Kejadian 223 bahasa Ibrani isy dan perempuan issya. Dengan kaitan langsung kedua term ini tampak polaritas dari laki-laki dan perem-puan Römer, 2014. Namun anehnya para penafsir yang sama para penulis Kristen awal tidak pernah berpendapat bahwa manusia lebih rendah dari binatang karena diciptakan kemudian Kej. 127. Sebaliknya, mere-ka menganggap tindakan kreatif terakhir dalam Ke-jadian 1 sebagai puncak Penciptaan. Sebenarnya taf-siran dogmatis yang menempatkan manusia sebagai mahkota ciptaan sudah tidak dapat dipertahankan. Narasi penciptaan bukan homosentris tetapi lebih baik dipahami sebagai creatio-sentris atau Theo-sen-tris. Sebagai ciptaan terakhir narasi sebenarnya hen-dak menjelaskan bahwa sebelum manusia diciptakan sudah ada ciptaan lain makhluk hidup di muka bu-mi ini. Dengan penempatan itu, narasi mengajak pem-baca untuk melihat manusia yang harus hidup ber-dampingan dengan ciptaan atau makhluk hidup lain-nya Sinaga, 2016. Jadi bukan menempatkan manu-sia sebagai yang lebih tinggi dari binatang, karena diciptakan terakhir. Lebih jauh, jika prinsip yang diciptakan be-lakangan menjadi yang lebih baik diterapkan secara konsisten, penciptaan perempuan dalam Kejadian 2 seharusnya dipandang sebagai puncak penciptaan. Selain itu, jika dilihat penggunaan nama Adam yang menunjuk pada manusia dan tidak pada nama diri atau laki-laki baru kemudian nama Adam diartikan sebagai nama laki-laki, maka sebenarnya bukan Adam atau laki-laki yang diciptakan lebih dulu, melainkan Adam dan Hawa atau laki-laki dan pe-rempuan diciptakan secara bersamaan. Kesalahan tafsir yang melihat Hawa atau perempuan lebih ren-dah dari Adam, berdampak pada dilarangnya perem-puan untuk belajar dan mengajar dalam tradisi gereja mula-mula. Hal ini tampak misalnya dalam I Ti-motius 212, di mana Timotius menyatakan “Aku tidak mengizinkan perempuan mengajar dan juga ti-dak mengizinkannya memerintah laki-laki, hendak-lah ia berdiam diri.” Luther dan Bapa-bapa gereja yang lain kemudian melarang perempuan menjadi imam karena mereka dipandang sebagai “imam se-tan” Hommes, 1992. Ini merupakan pema-haman umum tradisional saat itu yang mengembang-kan teks Kejadian 1-3 Singgih, 1999, lalu kemudian berkembang secara umum di kalangan ke-kristenan. Kedua, Hawa berasal dari Adam. Hawa di-pandang sebagai ciptaan yang lemah dan rendah ka-rena diciptakan dari tulang rusuk Adam. Agak aneh bahwa Adam yang diciptakan dari debu tanah, se-suatu yang dianggap kotor, justru dipandang lebih tinggi dari Hawa yang diciptakan dari bahan berupa tulang rusuk manusia. Tidak hanya itu, Hawa dipan-dang sebagai penggoda, jahat, dan penyebab keti-daktaatan Adam. Pemahaman ini dipengaruhi oleh tafsiran yang melihat peristiwa makan buah terla-rang sebagai tindakan hubungan seksual perbuatan terlarang. Kejadian 31-24 sebenarnya tidak berbi-cara tentang kejatuhan manusia dalam dosa tidak ada kata dosa dalam teks kecuali judul yang diberi-kan oleh LAI, tetapi teks ini sering dipakai oleh pa-ra penafsir yang membenci perempuan, termasuk Bapa-bapa gereja untuk menunjukkan bahwa perem-puan adalah sebagai penyebab kambing hitam ma-nusia jatuh di dalam dosa. Dalam kaitan dengan Ba-pa-bapa Gereja, Gabriele Spira menyatakan bahwa meskipun ada pandangan Tertulianus yang negatif terhadap perempuan dalam Kejadian 3, semata-mata bukanlah hanya sebagai tafsiran biblis tetapi adanya pengaruh yang bersifat apologetis terhadap para bi-dat pengajar sesat yaitu Montanisme yang telah mengganggu gereja ketika itu Spira, 2015. Dan anggapan bahwa perempuan sebagai penyebab ma-nusia jatuh dalam dosa tentu tidak bisa diterima. Ke-jadian 3 tidak berbicara tentang perempuan Hawa sebagai penyebab kejatuhan manusia, melainkan tentang kisah laki-laki dan perempuan Adam dan 176 Volume 4, Nomor 2, Juli 2020 Hawa yang melakukan pelanggaran atas perintah Tuhan dan terjadinya relasi yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan. Ada banyak tafsiran yang beredar pada dua dekade terakhir yang menolak Ke-jadian 3 sebagai narasi tentang kejatuhan dalam dosa Schmid, 2012. Ada dua mitos di mana perempuan dijadikan sebagai kambing hitam, yaitu mitos Pandora dari Yunani dan Hawa dari Ibrani. Mitos-mitos ini tidak hanya membuat perempuan dianggap bertanggung-jawab tentang yang jahat tetapi juga menerjemahkan yang jahat dan perempuan ke dalam prinsip yang ontologis perempuan terikat pada materi, irrasional, jasmani daging = hawa nafsu, terbatas dan mereka mencabuli akal atau roh lelaki dan menyeretnya ke dalam dosa dan maut. Itulah sebabnya Bapa-bapa gereja mengajarkan agar laki-laki menjauhi perem-puan yang dianggap sebagai gerbang iblis Tertulia-nus dan menyeret laki-laki untuk jatuh dalam dosa Carmody 1992, Dalam ajaran gereja, pe-rempuan digambarkan sebagai penggoda dan pelacur yang tidak lain merupakan perwujudan setan Ha-wa, dan dilawankan dengan gambaran seksualitas perempuan yang telah ditundukkan misalnya Maria perawan suci, sosok ibu yang penuh kasih sayang, serta isteri yang patuh. Dengan demikian, Hawa ti-dak hanya dianggap sebagai "ibu dari semua makh-luk hidup" secara etimologi Hawa berasal dari kata Ibrani Hawwah dari kata hayyim hidup Straumann 2007, tetapi ia juga diangkat sebagai simbol untuk kejahatan yang melekat pada semua perem-puan. Padahal Kejadian 3 tidak berbicara tentang pe-rempuan sebagai kambing hitam, tetapi mau menun-jukkan kenyataan bahwa kejahatan ada dalam dunia. Penjelasan para sarjana Perjanjian Lama belakangan ini melihat keseluruhan Kejadian 1-11 sebagai satu kesatuan literaris untuk menjawab pertanyaan klasik, dari mana datang atau munculnya kejahatan. Meski-pun gagasan itu tidak harus dibenarkan, karena argu-mentasinya didasarkan pada naskah-naskah di luar Alkitab dan mencari paralelitasnya dengan teks-teks sekitar Israel, namun teks jelas menyatakan bahwa kejahatan bukanlah berasal dari Allah sebagai sang Pencipta melainkan oleh manusia itu sendiri ke-inginan, nafsu. Atkinson menyatakan bahwa pasal 3 tidak bertanya tentang bagaimana caranya kejahat-an masuk ke dalam dunia ini Atkinson, 2000. Mitos Pandora dari Yunani, meskipun ada kemiripan narasi dengan Kejadian 3, namun sebe-narnya tidak memiliki hubungan langsung tetapi se-ring dirujuk sebagai pengembangan untuk interpret-tasi. Mitos-mitos ini telah melegitimasi penindasan dan penundukan terhadap perempuan sebagai 'hu-kuman' untuk 'dosa asli'-nya yang menyebabkan ke-jatuhan 'laki-laki' dan kehilangan Firdaus. Budaya Yahudi juga melihat perempuan sebagai sumber do-sa dan nafsu seksual, misalnya dalam kitab Sirach 192 dikatakan bahwa anggur dan perempuan mem-buat hati penuh nafsu. Ini juga yang menyebabkan Philo memperingatkan kaum laki-laki untuk men-jauhi perempuan Kristianto, 2019. Tidak hanya itu, kaum perempuan juga tersingkirkan dari jabatan imam karena dianggap sebagai imam setan Thomas Aquinas & Martin Luther dan najis Carmody, 1992. Ayat Alkitab yang sering digunakan untuk menghalangi perempuan terlibat dalam pelayanan ialah Kejadian 31-24 dan I Korintus 1426-40. Dam-pak dari pemahaman ini adalah pada akhir abad per-tengahan banyak para janda dan perempuan lajang disiksa dan dibakar hidup-hidup karena dianggap se-bagai tukang sihir dan sumber dosa Bone, 1999. Dampak lain adalah perempuan dilarang untuk be-lajar dan mengajar. Akibatnya perempuan dipandang sebagai makhluk bodoh yang tidak bisa berpikir se-lain berfokus pada tubuhnya. Mitos ini juga masih mempengaruhi seba-gian besar masyarakat saat ini yang memandang ke-jatuhan laki-laki pada dosa seksual, termasuk perko-saan yang dilakukannya adalah karena perempuan yang menggoda. Gambaran perempuan sebagai peng-goda dapat dilihat baik dalam film maupun dalam realitas sehari-hari, di mana setan penggoda lebih ba-nyak digambarkan sebagai perempuan. Stigmatisasi itu menimbulkan pemahaman bahwa setan adalah pe-rempuan atau perempuan adalah setan. Padahal setan itu adalah roh dan tidak memiliki jenis kelamin. Asnath Niwa Natar, Perempuan Sumber Dosa atau Sumber Hikmat? …. 177 Apakah betul perempuan sumber dosa, penye-bab manusia jatuh dalam dosa dan bodoh? Sehu-bungan dengan pertanyaan ini, penulis akan mela-kukan tafsir ulang dari perspektif feminis terhadap Kejadian 31-24. Perikop ini termasuk salah satu yang paling banyak mendapat perhatian dari para sarjana dan telah memunculkan aneka karya. Peneli-tian biasanya berkembang sebagai kritik terhadap karya terdahulu meskipun ada beberapa yang men-dukung pendapat sebelumnya secara hipotesis. Di samping itu perlu dicatat bahwa aneka penafsiran te-lah berkembang terhadap perikop ini yang pada umumnya dikaitkan dengan tema dosa asali manusia tetapi tidak berdasarkan pada teks itu sendiri. Dari perspektif tafsir historis kritis, perikop ini juga cu-kup mendapat perhatian untuk melihat lapisan-la-pisan sastra dan sumber utama penulisan narasi. Rumusan masalah penelitian ini adalah apa-kah perempuan Hawa adalah sumber dosa atau jus-tru sebagai sumber hikmat? Tujuan penelitian adalah untuk mengubah cara berpikir masyarakat untuk le-bih menghargai perempuan dan tubuhnya. Tubuh pe-rempuan bukan sumber dosa atau rangsangan me-lainkan tubuh yang memiliki intelegensi dan hikmat. METODE Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan dengan memanfaatkan berba-gai buku, jurnal dan terbitan-terbitan lain yang ber-kaitan dengan topik penelitian, dalam hal ini tafsiran terhadap Kejadian 31-24. Tafsiran akan dilakukan dengan menggunakan pendekatan hermeneutik ke-curigaan investigasi dari Elisabeth S. Fiorenza untuk melihat ideologi dan struktur-struktur ke-kuasaan oleh sistem patriarkhi dan androsentris yang ada dalam teks Alkitab secara eksplisit maupun im-plisit, dalam pengalaman manusia dan dalam kon-teks penafsiran Alkitab Fiorenza, 2001. Ideologi dan struktur dominasi ini telah digunakan untuk me-nindas dan mendiskriminasikan kaum perempuan se-lama berabad-abad. Hermeneutik kecurigaan inves-tigasi mengawali pembacaan terhadap teks secara kritis dengan asumsi kecurigaan awal mengenai re-lasi kekuasaan yang ada dalam teks yang bersifat do-minatif serta melakukan investigasi untuk mencari potongan-potongan kisah yang mungkin hilang atau sengaja dihilangkan Asian Women’s Resource Centre for Culture and Theology, 2013. Model pen-dekatan ini penting untuk membebaskan teks dan kaum perempuan dari berbagai bentuk penindasan. Dengan demikian kendati di satu sisi Alkitab ditulis dalam Bahasa dan pandangan yang didasarkan pada ideologi patriarkhi dan bersifat misogynis memben-ci perempuan dan menindas perempuan, namun di sisi lain Alkitab juga memberikan inspirasi bagi ka-um perempuan dan laki-laki untuk melawan penin-dasan dan mengupayakan kehidupan yang lebih se-tara Barth-Frommel, 2003, p. 33; Sumiyatiningsih, 2013. HASIL DAN PEMBAHASAN Konteks Kejadian 31-24 Seperti Kejadian 1 dan Kejadian 2, Kejadian 3 adalah narasi tentang pergerakan dari dunia yang stabil dan tidak berubah ke tatanan baru yang dina-mis. Kejadian 1 dan 2 menggambarkan keadaan du-nia yang kosong dan sepi, digantikan oleh dunia yang penuh dengan kehidupan. Dalam Kejadian 3 perubahan adalah dari dunia yang nyaman, dikenda-likan dengan ketat, tanpa peran sosial dan status sek-sual, ke dunia di mana laki-laki dan perempuan ber-hubungan secara seksual dan hidup menurut peran sosial, sebuah dunia di mana mereka bekerja keras dan tahu perbedaan antara yang baik dan yang jahat. Tafsiran Kejadian 31-24 Ayat 1-5 Kisah ini dimulai ketika ular berbicara dengan perempuan. Mengapa tidak dengan laki-laki? Bapak-bapak gereja menafsirkan bahwa perempuan secara moral lebih lemah daripada laki-laki dan karenanya menjadi mangsa yang lebih mudah; perempuan itu sederhana, mudah tertipu, tidak bisa dipercaya; atau bahwa dia lebih seksual dan seksualitasnya diguna- 178 Volume 4, Nomor 2, Juli 2020 kan oleh ular untuk menghancurkan laki-laki itu. Pan-dangan ini bisa dilihat pada Cassuto, Von Rad dan McKenzie yang menafsirkan mengapa Hawa atau pe-rempuan yang digoda dan bukan laki-laki, oleh ka-rena perempuan lebih lemah, licik dan seksi dari pa-da laki-laki Trible 1992, Hal ini tidak bisa diterima karena teks tidak berbicara demikian. Teks sendiri tidak memberikan alasan, tetapi ada beberapa dugaan 1 Perempuan datang kemu-dian dari Adam dan tidak mendengar langsung la-rangan memakan buah yang diberikan TUHAN ke-pada Adam Kej. 215. Jadi ada kemungkinan ular berpikir bahwa lebih mudah menggoda Hawa dari-pada Adam; 2 Menurut cerita dari Asia Barat Daya Kuno, pohon dan perempuan sering dihubungkan dengan pohon dan dewi Dewi pohon kehidupan de-wi Isis, Istar, dan tindakan pemberian makan adalah urusan perempuan Straumann 2007, Tetapi dalam Kejadian 3 perempuan justru tabu mendekati pohon itu dan memakan buahnya. Itulah sebabnya ular mendekati perempuan Hawa sebagai alat un-tuk memecahkan tabu tersebut Schottroff et al., 1995. Pohon juga diidentifikasikan sebagai pembe-rian kebijaksanaan atau Sophia feminin. 3 Jikalau betul si ular lebih pintar atau cerdik daripada bina-tang yang lain, mungkin perempuan juga lebih me-narik daripada laki-laki, karena dalam cerita atau mi-tos ini perempuan muncul sebagai yang lebih pintar daripada suaminya, lebih agresif dan lebih peka. Jadi ular dan perempuan sama-sama pintar dan mereka bersama-sama menafsirkan apa yang Tuhan telah firmankan. Karena itu, tidak benar kalau dikatakan bahwa perempuan lebih mudah digoda dan rentan terhadap masalah dosa, kedagingan dan seks. Dalam beberapa tafsiran, ular disebut seba-gai iblis atau setan dan penipu Baxter, 2001; Singgih, 1999, itulah sebabnya Augustinus menye-but ular sebagai pelaku kejahatan yang pertama, bukan Adam Moe, 2015. Padahal tidak ada satu kata pun dalam teks yang menyebutkan bahwa ular adalah iblis. Di Mesir, ular malah adalah dewa. De-mikian pula di Yunani, ular disebut Asclepius dan adalah dewa penyembuh, dan saat ini digunakan se-bagai simbol dalam dunia medis Ito, 2010. Gerhard von Rad menyatakan, bahwa ular hanyalah salah sa-tu binatang yang diciptakan Tuhan dan bukan sim-bolisasi setan atau iblis dan ular bukan dari setan Von Rad, 1972. Ular memang memutarbalikkan apa yang dikatakan oleh Allah dengan tujuan agar perempuan itu terpedaya. Ia mengajukan pertanyaan, tentulah Allah berfirman, semua buah pohon dalam taman ini jangan kamu makan buahnya, bukan? Kata “tentulah” diterjemahkan dari bahasa Ibrani af ki se-bagai petunjuk kepada pembaca bahwa ular sedang menggiring teman bicaranya untuk melakukan se-suatu yang bertentangan dengan ketentuan Allah. Menarik juga untuk memeriksa teks bahasa Ibrani, bahwa dalam Kejadian 215, yang memberi perintah kepada Adam adalah YHWH TUHAN sedangkan dalam Kejadian 31, ular tidak menyebut YHWH ke-pada Hawa melainkan Elohim Allah. Di sini penu-lis narasi membedakan nama Allah yang dipakai untuk manusia dan oleh ular Moberly, 2009. Pertanyaan ular bermaksud untuk menguji pengetahuan Hawa. Hawa kemudian menjawab bah-wa buah pohon-pohonan dalam taman boleh dima-kan, namun buah pohon yang ada di tengah-tengah taman tidak boleh dimakan atau diraba, karena bisa menyebabkan kematian. Tetapi ular berkata bahwa ia sekali-kali tidak akan mati tetapi mata mereka akan terbuka dan akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat. Karena itu, perlu untuk memperhatikan perikop secara cermat. Di ta-man Eden tumbuh dua pohon, pertama adalah pohon kehidupan tetapi tidak disebutkan dalam larangan yang disampaikan Allah kepada Adam dalam Keja-dian 217 dan juga tidak disebutkan dalam perca-kapan antara ular dan Hawa dan kedua adalah po-hon pengetahuan baik dan jahat sudah disebutkan pada Kej. 217. Pada Kejadian 35 dijelaskan bahwa Hawa memakan buah dari pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat, dan tidak memakan buah kehi-dupan dan itulah sebabnya Allah mengusir Adam dan isterinya dari Eden agar mereka tidak memakan buah dari pohon kehidupan itu. Ini kemudian yang menyebabkan mengapa tidak ada manusia yang Asnath Niwa Natar, Perempuan Sumber Dosa atau Sumber Hikmat? …. 179 memiliki kehidupan kekal. Selain itu, Hawa hanya menyebut pohon yang ada di tengah taman ini me-rupakan tambahan dari Hawa karena tidak disebut-kan oleh Allah dalam perintah-Nya kepada Adam dan tidak secara eksplisit menyebut pohon pengeta-huan yang baik dan jahat seperti yang dikatakan oleh Allah kepada Adam dalam Kejadian 217. Hawa ju-ga menambahkan kata ”Jangan kamu raba”. Pernya-taan Hawa inilah yang menjadi bukti bahwa dia ti-dak menjadi penerima perintah Allah untuk bebas memakan semua buah pohon di taman kecuali buah pohon pengetahuan tentang yang baik dan jahat. Kalau percakapan antara ular dan perem-puan itu diperhatikan dengan baik, sebenarnya ular tidak menipu perempuan itu karena apa yang ia ka-takan adalah benar, yaitu tentang konsekuensi me-makan buah dari pohon yang dilarang itu. Ketika mereka memakannya, mereka akan menjadi seperti Allah, memiliki kemampuan untuk membedakan mana yang baik dan mana yang jahat. Penjelasan yang lebih terperinci tentang “pengetahuan baik dan jahat” bisa dilihat pada buku Claus Westermann dengan judul Genesis Kapitel 1-3 Westermann, 1999, pp. 328–333 . Demikian pula mereka ternyata tidak lang-sung mati seperti yang dikatakan oleh perempuan itu atau Hawa setelah memakan buah itu tetapi mereka justru tahu tentang yang baik dan yang jahat. Mati di sini berkaitan dengan kematian hidup manu-sia, di mana ini dikaitkan dengan pohon kehidupan kekal immortalitas yang ada di taman itu Singgih, 2011. Hal ini nyata dalam ayat 22, di mana Allah mengatakan bahwa “manusia itu telah menjadi se-perti salah satu dari Kita, tahu tentang yang baik dan yang jahat”. Menarik untuk diperhatikan adalah pada ungkapan “pengetahuan tentang yang baik dan ja-hat”, dalam literatur Perjanjian Lama pada umumnya merujuk kepada kemampuan dan kedewasaan manu-sia lih. Ul. 139f.. Terkait dengan gagasan itu von Rad menyatakan bahwa tidak ada yang bisa hidup bahkan dalam sehari tanpa kerusakan yang serius jika mereka tidak bisa dikendalikan dengan penga-laman yang luas pengetahuan baik dan jahat Von Rad, 1971. Perempuan itu melihat pohon itu baik untuk dimakan atau baik untuk membuat orang bijak 36. LAI menerjemahkan kalimat akhir dengan “memberi pengertian”, dalam tafsiran Westermann selalu merujuk kepada hasrat ataupun keinginan un-tuk melanggar ketentuan seperti Keluaran 2017 Westermann, 1999, p. 339. Dari sini dapat dilihat bahwa ular adalah bina-tang licik. Pada tingkat linguistik, deskripsi ular se-bagai "arum" sering diterjemahkan sebagai 'licik', tetapi juga dapat diartikan dengan pintar, cerdas; Ayb. 512; 155 sering digunakan dalam literatur kebijaksanaan sebagai hikmat atau bijaksana Strau-mann, 2007. Selain itu di Asia Barat Daya Kuno ular secara luas dianggap mewakili kebijaksanaan. Ini kemudian dimasukkan ke dalam tradisi Kristen, sebagaimana dibuktikan dalam Matius 1016, “Jadi-lah cerdik bijak seperti ular.” Pengetahuan ular tentang buah pohon pengetahuan yang baik dan jahat menunjukkan bahwa ular memiliki pengetahuan yang sebenarnya hanya diperuntukkan bagi Allah. Tidak hanya ular yang bijaksana, namun juga Hawa dan ini menjadi alasan mengapa ular memilih perempuan dan bukan laki-laki. Dalam Perjanjian Lama, hikmat sering dipersonifikasikan sebagai se-orang perempuan dan agen Kebijaksanaan Tuhan; Sophia adalah karakter perempuan feminim. Ada kemungkinan penempatan perempuan di taman Eden adalah untuk memberikan kebijaksanaan kepada la-ki-laki itu. Dengan demikian Hawa atau perempuan tidak dilihat secara misoginis namun secara positif sebagai pembawa hikmat atau kebijaksanaan atau penasihat bagi suaminya. Dengan kata lain, perem-puan justru menjadi orang pertama yang memiliki hikmat Singgih 2011, 107. Ayat 6 Selanjutnya dapat dikatakan bahwa perca-kapan perempuan dengan ular adalah sebuah perca-kapan hermeneutik teologis. Dapat pula dikatakan bahwa Hawa adalah orang pertama yang berteologi. Perempuan itu memikirkan dan mempertimbangkan buah pohon itu sebagai sesuatu yang baik untuk 180 Volume 4, Nomor 2, Juli 2020 dimakan dan sebagai sumber kebijaksanaan haskil atau pengetahuan Trible, 1992, p. 184. Hal ini sekaligus menepis penafsiran sebelumnya, salah sa-tunya dari Tertullianus yang memahami buah terla-rang itu sebagai seks dan malu sebagai konsekuen-sinya Carr, 2003. Jadi buah larangan bukan seks melainkan hikmat. Kejadian 36, “Perempuan itu melihat, bahwa buah pohon itu baik untuk dimakan dan sedap keli-hatannya, lagi pula pohon itu menarik hati karena memberi pengertian”. Westermann menjelaskan ung-kapan “memberi pengertian” di sini, bukan tentang pengetahuan moral atau pengetahuan material dari seorang individu, tetapi tentang pengetahuan yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan penge-tahuan yang berkembang di dalamnya Westermann, 1999, p. 329. Buah pohon itu menimbulkan rasa ingin tahu atau rasa penasaran pada diri perempuan itu. Namun tindakannya tidak begitu saja dilakukan tetapi dida-sarkan pada berbagai pertimbangan. Dapat dikatakan bahwa perempuan, bersama dengan ular adalah pen-cipta budaya dan sumber pengetahuan atau hikmat yang diperlukan untuk hidup di dunia. Ia ikut terlibat dalam menciptakan pengetahuan dan menentukan kehidupan. Dengan memakan buah pohon itu, mun-cullah tanda kehidupan sosial dan budaya pengeta-huan tentang yang baik dan yang jahat, dan cara membuat pakaian dari daun pohon ara Kej. 37 Nidith, 2016. Tanpa Hawa yang merupakan ini-siator untuk memakan buah pengetahuan yang baik, mungkin manusia tidak akan bisa berkembang dan menikmati hasil teknologi seperti sekarang ini. Ken-dati demikian, manusia tetap menerima hukuman atas pelanggaran mereka terhadap perintah Tuhan. Menarik bahwa perempuan itu bertindak dan memutuskan secara mandiri perempuan mandiri, tidak minta izin pada suami atau laki-laki, ia bertin-dak secara bebas. Hal ini berbeda dengan sikap laki-laki yang diam, pasif, penerima. Dia tanpa ragu-ra-gu, tanpa enggan, tanpa berteologi, tanpa memper-timbangkan apapun memberikan perhatian hanya pa-da perutnya, dan mengikuti isterinya dengan kata lain, seringkali terjadi bahwa perempuan bertindak lebih menggunakan otaknya, sedangkan laki-laki ber-orientasi pada perutnya. Padahal larangan itu dibe-rikan kepada Adam sebelum perempuan itu dicipta-kan Kej. 216, dan Adam juga ada bersama dengan Hawa ketika Hawa mengambil buah itu dan diberi-kannya kepada Adam yang ada bersama dia Kej. 36. Namun Adam tidak mengatakan atau berbuat apa-apa untuk mencegahnya. Di sini juga tidak di-katakan bahwa Hawa menggoda Adam tetapi bahwa ia memberikan buah itu kepada suaminya. Dengan pernyataan bahwa Hawa tidak menggoda Adam un-tuk memakan buah terlarang sekaligus menjadi alas-an bahwa Hawa juga bukan karena digoda ular mau memakan buah itu Westermann, 1999, p. 340. Pen-jelasan ini juga dapat dipakai untuk memahami me-ngapa akhirnya Allah tidak lagi mengajukan perta-nyaan kepada ular atas pelanggaran yang dilakukan manusia itu. Maksudnya adalah bahwa narasi sama sekali tidak memberikan perhatian terhadap persoal-an digoda atau menggoda. Menarik juga untuk di-perhatikan bahwa gambaran perempuan yang lebih pandai, peka dan cerdik justru muncul dalam kebu-dayaan yang menonjolkan kaum laki-laki. Namun sayang, tindakan Hawa ini sering dipandang negatif karena seorang isteri yang aktif akan berbahaya bagi suaminya. Karena itu perempuan atau isteri harus di-tundukkan atau tunduk pada laki-laki atau suami su-paya tidak sama seperti Hawa. Ayat 7-19 Pada bagian ini keduanya sadar bahwa me-reka telanjang. Pada Kejadian 224 kata “telanjang” sudah muncul namun tidak merupakan suatu per-soalan sebab mereka tidak merasa malu. Namun pa-da ayat 7, ketelanjangan menjadi hal lain, sebab me-reka berupaya untuk menutupinya. Jadi apa yang se-belumnya tidak disadari meskipun sudah dilihat, se-karang dipahami secara baru. Kesadaran baru itu pu-la yang memampukan mereka untuk berkreasi secara baru yang sebelumnya tidak pernah mereka lakukan. Dengan perkataan lain, kesadaran baru mereka me-munculkan sesuatu yang sebelumnya tidak pernah Asnath Niwa Natar, Perempuan Sumber Dosa atau Sumber Hikmat? …. 181 dimengerti yaitu bahwa mereka sudah malu. Kesa-daran itu pula menjelaskan sesuatu bahwa mereka memiliki kekurangan Westermann, 1999, p. 341. Dalam kenyataan inilah perkataan ular mendapat bukti. Kesadaran baru itu membuat mereka menyem-bunyikan diri dan melarikan diri bersama-sama. Allah selanjutnya menanyakan tanggung ja-wab lebih dahulu kepada Adam, tetapi dia sendiri melemparkan tanggungjawabnya dengan mengata-kan, Perempuan yang Kau tempatkan di sisiku, dia-lah yang memberi dari buah pohon itu kepadaku, maka kumakan. Ia tidak memberikan jawaban atas apa yang dia lakukan malahan menuduh atau menya-lahkan Allah Yang telah menempatkan Hawa di sisinya dan bukan Hawa. Ini berarti bahwa perem-puan tidak ditunjukkan sebagai penggoda, apalagi ka-ta 'nsh' menipu, menggoda atau memperdayakan dipakai untuk ular, bukan untuk perempuan itu Trible, 1992. Hawa mengatakan bahwa ularlah yang meng-goda dia. Nampak Allah mendengarkan apa yang Hawa katakan, tetapi bukan karena ular telah mem-perdaya Hawa melainkan karena ular telah membu-ka rahasia pengetahuan atau kebijaksanaan yang se-benarnya adalah hak Allah Singgih, 2011. Karena itu Allah mengutuk ular 314 dan menghukum Adam dan Hawa bukan mengutuk akibat ketidak-setiaan mereka. Adam dihukum bahwa ia akan ber-peluh dan bersusah payah dalam mengelola tanah. Adam tidak dikutuk melainkan tanah. Karena tanah terkutuk maka Adam akan bersusah payah menger-jakan dan mendapatkan hasilnya. Hukuman kepada Adam jauh lebih berat dan rinci jika dibandingkan dengan hukuman kepada Hawa sebagaimana diurai-kan pada ayat 17-19. Kata hukuman pada ayat 19 tentang asal dari tanah dan kembali ke tanah meru-juk kepada kematian sekaligus menjadi jawaban terhadap ketidakkekalan manusia seperti yang di-uraikan pada pasal 1. Jadi tafsiran yang menghu-bungkan kematian sebagai hukuman sudah tidak da-pat dipertahankan. Kematian adalah batas susah pa-yah manusia untuk mengerjakan tanah Westermann, 1999. Hawa dihukum akan sakit ketika mengan-dung dan melahirkan serta akan birahi kepada su-aminya dan suaminya akan berkuasa terhadapnya. Dua kata ini yaitu sakit dan birahi menunjuk pada status Hawa sebagai ibu dan isteri. Status perempuan yang sakit mengandung dan melahirkan bukanlah menghilangkan martabatnya sebagaimana pada ayat 20 eksplisit muncul. Kata birahi yang dipakai dalam teks sebaiknya dipahami sebagai saling ketergan-tungan suami dan isteri. Secara khusus dalam ama-nat untuk berkembangbiak memenuhi bumi ini. Bu-kan hanya istri yang menginginkan hubungan sek-sual melainkan suaminya juga. Fakta menunjukkan bahwa yang lebih sering dikuasai berahi adalah kaum laki-laki kepada perempuan, juga ketika perem-puannya tidak menginginkannya Singgih, 2011. Kendati demikian, kata birahi ini sering ditafsirkan ke luar dari konteks bahwa hubungan seksual terjadi karena isteri yang menginginkan atau menggoda suami. Hal ini nampak dalam penafsiran Bapa-bapa gereja seperti Tertullianus dan Agustinus, yang me-larang untuk mendekati atau kawin dengan perem-puan karena perempuan adalah sumber nafsu birahi Hommes, 1992. Pandangan ini tidak hanya dalam relasi suami isteri tetapi juga dalam relasi perem-puan dan laki-laki bahkan ketika terjadi perkosaan. Perempuan yang adalah korban justru disalahkan sebagai pihak yang telah menggoda laki-laki terjadi reviktimisasi. Sementara laki-laki justru dipandang sebagai korban dan bukan pelaku. Itulah sebabnya banyak pelaku perkosaan yang tidak ditindak, kalau pun ditindak, hukumannya sangat ringan. Hukuman terhadap Adam dan Hawa “meng-gambarkan” betapa ngerinya kehidupan manusia, dan bukan “perintah” yang harus dituruti. Allah memberitahukan perempuan itu bahwa suaminya akan menguasainya 316 bukan memerintah Adam untuk menguasainya. Kesalahan tafsir terhadap ba-gian ini telah membuat laki-laki sebagai penindas oppressor yang menyebabkan penderitaan terhadap mereka yang ditindas oppressed, dalam hal ini para istri. Inilah yang disebut sebagai dosa yaitu ketika terjadi hubungan yang tidak equal Moe, 2016 182 Volume 4, Nomor 2, Juli 2020 Pernyataan ini juga bukan suatu pengakuan bahwa derajat laki-laki lebih tinggi dari perempuan budaya patriarkhal, tetapi sebagai celaan terhadap pola relasi yang telah rusak akibat ketidaksetiaan mereka. Karena itu, laki-laki dan perempuan, perlu berbagi tanggung jawab atas perubahan status me-reka. Hukuman di atas sekaligus menunjukkan awal terciptanya peran gender, dimana laki-laki bekerja di ladang mencari nafkah dari tanah dan perempuan melahirkan anak Nidith, 2016. Hubungan yang tidak setara, di mana laki-laki lebih berkuasa daripada perempuan, telah meru-sak keharmonisan dan kederajatan ciptaan Tuhan dan tidak sesuai dengan kehendak Allah. Perbedaan yang seharusnya menciptakan keharmonisan dan per-samaan, kemudian berubah menjadi pembedaan, ke-tidakpatuhan dan bencana. Situasi ini tidak hanya merusak relasi antara laki-laki dan perempuan yang semula setara dan harmonis, tetapi juga merusak re-lasi antara manusia dengan hewan, ibu dengan anak, manusia dengan tanah, dan manusia dengan Allah. Oleh karena itu dibutuhkan adanya sebuah “perto-batan’ untuk melihat perempuan sebagai manusia yang utuh, dan mengembalikan relasi yang ada ke arah kesederajatan laki-laki dan perempuan. Ayat 20-24 Dalam teks ini Adam memberi nama Hawa kepada perempuan itu yang berarti “ibu dari semua yang hidup”. Dalam Sirach 401 dikatakan, “Suatu kesusahan besar telah diciptakan untuk setiap manu-sia, dan semua anak Adam tertekan oleh kuk yang berat sejak mereka keluar dari rahim ibunya sampai kembali kepada ibu pertiwi.” Kata akhir “ibu per-tiwi” dapat diterjemahkan juga dengan “ibu bumi” yang dalam beberapa tafsiran dipahami sebagai yang berasal dari tradisi kuno bahwa bumi adalah ibu dari segala kehidupan. Westermann menyatakan bahwa nama dan gelar atau nama dan penjelasan nama ini memiliki makna untuk mengekspresikan kegembi-raan menjadi ibu melalui mana kehidupan dibawa ke masa depan Westermann, 1999, p. 365. Mengenai asal-usul kata Hawa hingga saat ini masih terus didiskusikan di kalangan para ahli belum bisa dipastikan Pfeiffer, Jika nama Hawa diartikan sebagai ibu dari semua yang hidup, maka ia bukan hanya ibu dari semua manusia tetapi untuk semua yang hidup, hewan dan alam Singgih, 2011. Ibu tidak selalu dalam pengertian sebagai orang yang melahirkan tetapi bisa juga dalam pe-ngertian relasi antara satu dengan yang lain. Selain itu, Allah juga membuatkan kata kerja yang hanya dipakai untuk Allah sebagai subyek dalam narasi penciptaan pakaian dari kulit binatang kepada Adam dan Hawa sebelum mereka keluar dari taman Eden. Di sini tampak bahwa bukan hanya Adam dan Hawa yang membuat pakaian mereka dari daun, na-mun juga Tuhan terlibat di dalam memberi mereka pakaian yang lebih baik ayat 21. Hal ini me-nunjukkan bahwa ada kerjasama antara Allah dan manusia dalam memajukan peradaban manusia. Apa-kah keterlibatan Allah membuat pakaian kepada ma-nusia itu menjelaskan bahwa Allah dan manusia be-rada dalam ruang yang sama seperti diduga oleh pe-nafsir tradisional, masih membutuhkan penelitian le-bih lanjut. Namun alasan untuk penjelasan ini dapat dilihat pada ayat 23 di mana Allah mengusir manu-sia itu dari taman Eden tidak lagi berada dalam ruang yang sama. Adam dan Hawa diusir dari Taman Eden ka-rena Tuhan tidak ingin mereka mengambil dan me-makan buah pohon kehidupan Kej. 29 yang mem-buat mereka tidak mati hidup untuk selama-lama-nya. Istilah “tidak mati” dan “hidup untuk selama-lamanya” sebenarnya memiliki makna yang tidak sa-ma. Kata “tidak mati” berasal dari pemahaman Yu-nani sedangkan dalam bahasa Ibrani khay leolam me-rujuk kepada kehidupan yang terus berkelanjutan atau mengatasi garis kematian Westermann, 1999, p. 371. Sudah cukup manusia itu memakan buah po-hon pengetahuan yang baik dan jahat, dan mereka menjadi sama seperti Tuhan. Dengan melihat keselu-ruhan narasi dapat ditegaskan bahwa Kejadian 31-24 bukanlah hendak menjelaskan terjadinya dosa atau siapa penyebab dosa melainkan hendak meng- Asnath Niwa Natar, Perempuan Sumber Dosa atau Sumber Hikmat? …. 183 ungkapkan bahwa manusia yang terpisah dari Allah, diusir dari taman Eden. Aneka motif yang mencoba menjelaskan perikop hanyalah sebuah upaya untuk memahami narasi dan tidak boleh dianggap primer. Dari tafsiran di atas tampak bahwa dalam teks tidak ditemukan tuduhan berat tentang dosa asal yang disebabkan oleh perempuan bahkan kata dosa pun tidak ditemukan dalam teks. Itu adalah inter-pretasi kemudian dari penulis dengan berbagai teo-logi dan pandangan dunia khususnya dari tulisan-tu-lisan Yahudi periode akhir dan bukan dari tradisi Kristen. Perjanjian Lama dan kitab-kitab rabi-rabi tidak pernah menganggap Hawa sebagai sebab dari yang jahat, tetapi pada ketidaksetiaan Israel pada Allah akan perjanjian. Injil-injil tidak menyebut ce-rita Hawa sebagai dasar terjadinya yang jahat. Surat-surat Paulus justru berisi dualisme di antara Adam yang lama dan Adam yang baru. Surat-surat pasca-Paulus 1 Tim. menunjukkan bahwa satu perem-puan yaitu Hawa sebagai “kambing hitam”, yang membuat semua perempuan bersalah akan ketidak-mampuan para laki-laki untuk melawan yang jahat, yang telah ditebus dengan kematian Kristus. Dalam Perjanjian Baru sendiri bukan Hawa yang disebut se-bagai penyebab manusia jatuh dalam dosa melain-kan laki-laki Adam yang lama dan Adam yang Baru. Dengan demikian, seharusnya judul teks Kejadian 31-24 ini bukan tentang kejatuhan ma-nusia dalam dosa, melainkan “awal timbulnya pe-ngetahuan hikmat” atau “manusia mendapat hik-mat dari Allah”. Demikian pula penyataan yang me-ngatakan perempuan atau Hawa sebagai penyebab manusia jatuh dalam dosa, diganti dengan “perem-puan sebagai penyebab manusia mendapat hikmat”. Tafsiran ini lebih bersifat positif terhadap perem-puan tanpa menempatkannya di atas laki-laki. KESIMPULAN Dari uraian di atas tampak bahwa penafsiran ulang terhadap Kejadian 31-24 dengan memakai pendekatan hermeneutik kecurigaan investigasi da-ri perspektif feminis, menolong untuk melihat bagai-mana teks ini sering digunakan untuk mendiskre-ditkan, mendiskriminasi dan menguasai perempuan. Tafsiran ulang terhadap Kejadian 31-24 ti-dak dimaksudkan untuk saling menuding antara laki-laki dan perempuan, tentang siapa yang salah dan benar, karena dalam kisah penciptaan laki-laki dan perempuan dikatakan sama-sama “baik” dan memili-ki derajat yang sama; tulang dari tulangku, daging dari dagingku. Jika satu lemah, maka kedua-duanya sama-sama lemah. Mereka sama-sama punya tang-gungjawab dan pertimbangan yang sama, perasaan malu dan bersalah, dan mengalami penebusan dan anugrah yang sama. Karena itu, kisah ini bukan ha-nya kisah tentang perempuan, atau hanya kisah laki-laki, tetapi kisah bersama laki-laki dan perempuan. Sehubungan dengan hal itu maka dibutuhkan jalan perubahan atau pertobatan dari laki-laki dan juga perempuan untuk berhenti berpikir bahwa perem-puan adalah sumber dosa, bodoh dan makhluk ren-dah yang layak untuk dikontrol dan disingkirkan. Dua-duanya, perempuan dan laki-laki perlu berjuang bersama-sama demi kemanusiaan yang lebih manu-siawi, lebih utuh, yang tidak lagi terasing dari diri-nya sendiri, dari sesama, dari ciptaan yang lain dan dari Allah. DAFTAR RUJUKAN Asian Women’s Resource Centre for Culture and Theology. 2013. Membaca Alkitab dengan Mata Baru. Tafsir Feminis Kritis untuk Pem-bebasan dan Transformasi p. 24. AWRC. Atkinson, D. 2000. Kejadian 1-11. Kejadian Men-dukung Bertumbuhnya Sains Modern p. 100. Yayasan Komunikasi Bina Kasih/ OMF. Barth-Frommel, M. C. 2003. Hati Allah Bagaikan Hati Seorang Ibu. BPK Gunung Mulia. Baxter, J. S. 2001. Menggali Isi Alkitab I. Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF. 184 Volume 4, Nomor 2, Juli 2020 Bone, I. 1999. Perempuan dalam Teologi Tradisional Pemikiran Luther, calvin, Wesley, Gereja Katolik Roma. In Bentangkanlah Sayapmu p. 253. Persetia. Carmody, D. L. 1992. Kekristenan Zaman Bapa-bapa Gereja dan Abad Pertengahan. In Peru-bahan Peran Pria & Wanita Dalam Gereja & Masyarakat p. 213. BPK-Kanisius. Carr, D. M. 2003. The Erotic Word. Sexuality, Spirituality and the Bible. Oxford University press. Fiorenza, E. S. 2001. Wisdom Way. Introducing Feminist Biblical Interpretation p. 175. Orbis Books. Hommes, A. 1992. Perubahan Peran Pria & Wanita Dalam Gereja & Masyarakat. BPK Gunung Mulia-Kanisius. Ito, Sr. T. 2010. Dialoguing with the Snake Again. In In God’s Image, Journal of Asian Women’s Resource Centre for Culture and Theology Desember, Vol. 1–Vol. 29, p. 56. Kristianto, S. 2019. Women and Rape Case Considering the Second Antithesis. In Asian Journal of Theology Vol. 33, p. 38. Moberly, R. W. L. 2009. Theology of the Book of Genesis pp. 78–79. Cambridge University Press. Moe, D. T. 2015. Sin and Evil in Christian and Buddhist Perspectives A Quest for Theodicy. In Asia Journal of Theology April, Vol. 1–vol. 29, p. 25. Moe, D. T. 2016. Sin and Suffering The Hermeneutics of Liberation Theology in Asia. In Asia Journal of Theology October, Vol. 1–Volume 30, p. 213. Nidith, S. 2016. Genesis. In Women’s Bible Commentary, Revised and Updated p. 31. Claretian Communications Foundation. Pfeiffer, H. Adam und Eva. Römer, T. 2014. Das Buch Genesis. In Die Entstehung des Alten Testaments pp. 94–110. Verlag W. Kohlhammer. Schmid, K. 2012. Schöpfung im Alten Testament. In Schöpfung pp. 71–120. Mohr Siebeck. Schottroff, L., Schroer, S., & Theres Wacher, M. 1995. Feministische Exegese. Forschung-sertraege zur Bibel aus der Perspektive von Frauan. Wissenschaftliche Buchgesellschaft. Sinaga, H. 2016. Memenuhi dan Menguasai Alam Membaca Kembali Makna Mandat dalam Kejadian 128. In Ujilah Segala Sesuatu. Esai-esai untuk Merayakan 80 Tahun Pdt. Dr. Hutauruk pp. 324–337. LAPiK. Singgih, E. G. 1999. Dunia Yang Bermakna. Persetia. Singgih, E. G. 2011. Dari Eden ke Babel p. 93. Kanisius. Spira, G. 2015. Paradies und Sündenfall. Stoffe und Motive der Genesis 3-Rezeption von Tertullian bis Ambrosius pp. 297–298. Peter Lang. Straumann, H. S. 2007. Genesis 1-11, Die Urges-chichte. In Kompendium Feministische Bi-belauslegung p. 4. Gütersloh Gütersloher Verlagshaus. com/archive/opinions/1989/03/26/genesis-from-eves-point-of-view/dc371184-1f4c-4142-ac2d-d5efee72a0da/?utm_term=.0e2ee89516c0 Sumiyatiningsih, D. 2013. Pergeseran Peran Laki-laki dan Perempuan dalam Kajian Feminis. In Waskita, Jurnal Studi Agama dan Masya-rakat Oktober, Vol. 1–Vol. 1, p. 129. Trible, P. 1992. Membaca Kembali Kitab Kejadian 2-3. Kisah Penciptaan Adam dan Hawa. In Perubahan Peran Pria & Wanita Dalam Gereja & Masyarakat p. 186. BPK-Kanisius. Von Rad, G. 1971. Weisheit in Israel p. 31. Neukirchener Verlag. Von Rad, G. 1972. Das Erste Buch Mose Genesis p. 61. Vandenhoeck & Ruprecht. Westermann, C. 1999. Genesis Kapitel 1-3 p. 363. Neukirchener Verlag. ... Alkitab menjelaskan bahwa Iblis berhasil mempengaruhi manusia sehingga manusia mengikuti keinginan Iblis. Perkataan yang diungkapkan oleh Iblis dalam Kejadian 34-5 bahwa, "sekali-kali kamu tidak akan mati, tetapi Allah mengetahui bahwa pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat Natar, 2022." Aru Bunga dan I Ketut Enoh memberi penjelasan dalam artikel dengan judul Tinjauan Teologis tentang Iblis dalam Injil Sinoptik. ...Jonidius IlluMariduk TambunAtong CanceraPenjelasan tentang berbagai perkataan Iblis yang menipu manusia telah diceritakan dalam Alkitab. Tulisan ini bermaksud menguraikan pandangan teologis perkataan Iblis yang menciptakan kebohongan yang mempengaruhi manusia. Diharapkan orang Kristen memiliki dasar pemahaman yang sesuai Alkitab sehingga tidak mudah dipengaruhi oleh Iblis yang selalu menciptakan kebohongan dan pada akhirnya dapat berkata tidak terhadap bujuk rayuan atau perkataan Iblis dan keluar sebagai pemenang. Artikel ini menggunakan metode kualitatif yaitu melakukan penelitian kepustakaan dengan menemukan sumber literatur yang tepat sehingga penulisan artikel ini sesuai dengan isi yang diharapkan. Sumber-sumber yang dimaksudkan adalah buku-buku dan artikel-artikel yang terkait dengan topik atau latar belakang masalah tersebut. Permasalahan yang terjadi dalam kehidupan orang Kristen yaitu Iblis menciptakan kebohongan yang mempengaruhi manusia sehingga dapat menerima dan mengikutinya tanpa menguji kebenarannya berdasarkan Alkitab. Manusia mudah dipengaruhi sebab perkataan Iblis, hal ini disebabkan beberapa hal antara lain perkataan Iblis seolah-olah benar adanya, sikap orang Kristen yang mendua hati yang tanpa berpikir panjang mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan kebenarannya, hubungan manusia yang renggang dengan Allah memudahkan Iblis untuk melakukan pendekatan, menghasut dan akhirnya mengendalikan pikiran manusia dengan dengan berbagai tipu muslihat dan kebohongannya. Di sisi lain orang Kristen tidak memiliki kedekatan dengan Allah sehingga tidak mengerti kehendak-Nya dibandingkan dengan kebohongan Iblis, dampaknya lebih memilih perkataan Iblis. Harapan penulis yaitu orang Kristen memahami perkataan Iblis yang menciptakan kebohongan sehingga tidak tertipu. Selain itu, diharapkan tulisan ini memberi penjelasan yang lengkap tentang berbagai kebohongan yang diciptakan moderasi beragama sangat disadari oleh pemerintah dalam mengelola iklim bermasyarakat di Indonesia yang plural, dengan begitu banyan serta memiliki banyak perbedaan dan keberagaman, dari suku, etnis, agama, dan budaya. Kemajemukan merupakan kunci pemicu konflik atas nama perbedaan yang sangat mudah dipantik menjadi konflik berbasis kekerasan, termasuk mengarahkan pemikiran radikalisme ke arah ekstremisme kekerasan. Untuk itu, buku ini dapat memberikan gambaran real tentang tanggapan pihak perempuan, terutama perempuan penyuluh agama Islam, terhadap moderasi beragama Role of Woman Preachers to Empower Torajan People’s Economy. The aim of this research is to analyze the role of woman preachers to empower Torajan people’s economy. It used qualitative phenomenology research. The data were collected by interview and Focus Group Discussion to informants through purposive and snowball sampling. After that, the data were validated by technique, sources, and researchers triangulation. In terms of analysis, the data were analyzed using Miles and Hubberman’s method. Findings show that there are 3 main roles of woman preachers to empower Torajan people economy, namely role in context of increasing income, role in context of expenditure efficiency, and role in context of financial management. Those roles have strong relationship with the role of women in the family. The main challenge is the implementation of the roles in real life. Based on the results, it is recommended to strengthen the implementation of the woman preachers’ HaryantiMochamad Ziaulhaq Yeni HurianiPentingnya moderasi beragama sangat disadari oleh pemerintah dalam mengelola iklim bermasyarakat di Indonesia yang plural, dengan begitu banyan serta memiliki banyak perbedaan dan keberagaman, dari suku, etnis, agama, dan budaya. Kemajemukan merupakan kunci pemicu konflik atas nama perbedaan yang sangat mudah dipantik menjadi konflik berbasis kekerasan, termasuk mengarahkan pemikiran radikalisme ke arah ekstremisme kekerasan. Untuk itu, buku ini dapat memberikan gambaran real tentang tanggapan pihak perempuan, terutama perempuan penyuluh agama Islam, terhadap moderasi beragama 31-7 is the most important of the four chapters in the chapter. The problem that occurred was when the woman in the garden came face to face with a snake who said to her, “you will never die” Gen 34. These words resulted in a dialogue that made the woman not only see and think that the fruit gave understanding, but she also took, ate and gave it to her husband and her husband ate it Gen 36. This action has caused their eyes to be opened so that they know that they are naked Gen. 37a, and they make their loincloths, because naked is a picture of their sinful condition. Meanwhile the LORD God had announced His Law “…in the day that you eat of it, you shall surely die” Genesis 217. Robert Walter MoberlyThe book of Genesis contains foundational material for Jewish and Christian theology, both historic and contemporary, and is almost certainly the most appealed-to book in the Old Testament in contemporary culture. R. W. L. Moberly’s The Theology of the Book of Genesis examines the actual use made of Genesis in current debates, not only in academic but also in popular contexts. Traditional issues such as creation and fall stand alongside more recent issues such as religious violence and Christian Zionism. Moberly's concern – elucidated through a combination of close readings and discussions of hermeneutical principle – is to uncover what constitutes good understanding and use of Genesis, through a consideration of its intrinsic meaning as an ancient text in both Hebrew and Greek versions in dialogue with its reception and appropriation both past and present. Moberly seeks to enable responsible theological awareness and use of the ancient text today, highlighting Genesis’ enduring Isi Alkitab I. Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMFJ S BaxterBaxter, J. S. 2001. Menggali Isi Alkitab I. Yayasan Komunikasi Bina Kasih/ dalam Teologi TradisionalI BoneBone, I. 1999. Perempuan dalam Teologi Tradisional Pemikiran Luther, calvin, Wesley, Gereja Katolik Roma. In Bentangkanlah Sayapmu p. 253. Zaman Bapa-bapa Gereja dan Abad PertengahanD L CarmodyCarmody, D. L. 1992. Kekristenan Zaman Bapabapa Gereja dan Abad Pertengahan. In Perubahan Peran Pria & Wanita Dalam Gereja & Masyarakat p. 213. Way. Introducing Feminist Biblical InterpretationE S FiorenzaFiorenza, E. S. 2001. Wisdom Way. Introducing Feminist Biblical Interpretation p. 175. Orbis with the Snake AgainSr T ItoIto, Sr. T. 2010. Dialoguing with the Snake Again. In In God's Image, Journal of Asian Women's Resource Centre for Culture and Theology Desember, Vol. 1-Vol. 29, p. 56.Women and Rape Case Considering the Second AntithesisS KristiantoKristianto, S. 2019. Women and Rape Case Considering the Second Antithesis. In Asian Journal of Theology Vol. 33, p. 38.Sin and Evil in Christian and Buddhist Perspectives A Quest for TheodicyD T MoeMoe, D. T. 2015. Sin and Evil in Christian and Buddhist Perspectives A Quest for Theodicy. In Asia Journal of Theology April, Vol. 1-vol. 29, p. 25.
.